Sebuah rangkuman kejujuran yang ditulis sebagai kenang-kenangan,
siapa tau jika dibaca 5 hingga 10 tahun lagi akan mebuat saya bisa jauh lebih bersyukur.
"Ndes si X dan si Y ketrima kerja di *menyebut perusahaan atau instansi pemerintahan terkenal yg pasti semua orang tau tanpa harus searching di gugel* "Ndes, kau iri ndak?" yang jika ditanyakan 3 bulan lalu pasti jawabannya : BIG YES!
Jujur saja saya sangat iri jika melihat inner circle kita bisa bekerja dan meraih mimpi di tempat-tempat hebat. Atau dilain sisi "Ndes usaha jualan si Z udah sampek bisa buat beli rumah lho katanya" Wow makin desperate lagi jika mendengar ini. Mimpi lama yang tertunda, jadi enterpreneur. Dalam arti positif saya ini orangnya cukup ambisius.
Dulu mimpi saya adalah bisa bekerja di perusahaan besar, menikmati semua fasilitas perusahaan, bertemu orang-orang hebat, bisa membuktikan bahwa saya bisa bekerja di tempat yang bagus dengan usaha saya sendiri bukan karena bantuan orang tua, bisa bekerja sesuai passion atau jadi enterpreuner yang sukses dan bahagia. Jika 3 bulan lalu saya masih bekerja di perusahaan FMCG terkemuka namun masih belum pas juga buat saya. *halah muter-muter amat Mbak Dhila ceritanya, netizen pusing! Bilang aja pekerjaanmu tidak membuatmu bahagia* Sekarang saya tahu, benar kata beberapa orang iming-iming perusahaan besar, gaji lebih dari cukup ternyata tidak bisa membeli kebahagiaan batin. *walaupun bisa buat beli mobil ya* wkwkwk.
Lalu melihat pencapaian si X yg bekerja di perusahaan yg lebih bagus pasti akan terbersit rasa iri. Klise. Orang bilang saya kurang bersyukur. Ya memang.
"Kau ini kurang tangguh gitu aja nyerah, liat dong si Z aja masih bertahan kalah kau sama dia"
"Kurang bersyukur sih kau, lagian kenapa keluar lagi?"
Ternyata hidup dimasa "quarter life crisis" tidaklah mudah. Hahaha mungkin benar juga ya saya kurang tangguh. Tapi saya tidak mau berlama-lama berusaha terlihat tangguh. Seperti yang sudah diketahui finally saya memutuskan resign (lagi). Kehidupan setelah resign juga tidak mudah. Keinginan dan ambisi lama saya masih berkecamuk. Entah berapa orang yang menanyakan : "Nggak mau kerja lagi kau? Jadi habis ini mau ngapain?" Woyyyyy!!!!! Netizen ini nggak sabaran amat ya komen mulu. Hahaha bercanda. Dalam hati saya masih bertekad : pokoknya setelah ini aku juga harus bekerja di perusahaan bagus yg aku pengen dari dulu. Detailnya saya ingin masuk di perusahaan kosmetika terkemuka di Indonesia. Melihat kakak angkatan saya yang bekerja tidak senelongso saya dulu, tidak harus panas-panasan, bagiannya juga sama sales marketing namun jika yang dijual kosmetika kan nggak harus ke pasar panas-panasan, kerjaannya bikin workshop, bolak balik keluar negeri gratis, bikin seminar pengembangan karir dan potensi diri. Enaklah pokoknya. Secetek itu pikiran saya waktu itu.
Curhat ke umi abah sudah, namanya orang tua kurang lebih begini nasehat umi : "Apapun pekerjan kakak, umi selalu berdoa agar semua anak umi bisa bermanfaat buat orang lain, dipilihkan pekerjan terbaik menurut Allah. Bukan menurut kakak, karena yang terbaik menurut kakak belum tentu terbaik menurut Allah." Nyesss. *mbrebes mili*
Lalu curhat ke Amin, "Nduk mau kerja kayak gimanapun intinya yang penting nduk bahagia. Atau mending nduk lanjutin usaha atau jualan lagi aja. Inget yang penting kamu enjoy dan bahagia."
Hingga curhat ke grup yang berisikan Riyan, Almun dan Kiki tak henti-hentinya minta didoakan supaya juga ketrima bekerja di tempat yang saya anggap hebat seperti Riyan dan Kiki. Anaknya super kompetitif kala itu. Yakali Riyan dan Kiki bisa kok mosok aku nggak bisa sih. Begitu motivasi saya. "Iya Bud ku doakan kau juga dapat kerjaan bagus ndak usah nangis kau!" kurang lebih begitu mereka menguatkan saya. Oke ndak usah nangis ya. Kalau didepan mereka saya tidak malu untuk terlihat tidak tangguh karena setahun terakhir sudah cukup sering air mata saya tiba tiba jatuh sendiri hanya karena hal sepele misalnya panasnya Kota Medan yang membuat Almun dan saya berselisih paham atau ketika saya dibentak oleh Riyan. HAHAHA!
Kemudian saya berusaha sekuat tenaga apply di perusahaan impian saya tersebut dengan segala cara. Entah bagaimana sampai saat ini saya juga belum berjodoh dengan impian saya itu.
Beberapa bulan setelah itu saya ditawari bekerja disebuah FMCG terkemuka namun sama halnya dengan perusahaan sebelumnya ditempatkan jauh dari rumah (di luar Jawa pastinya) dengan konsekuensi yang sepadan yakni bekerja di Hari Sabtu dan terkadang akan bekerja juga di Hari Minggu. Jeng... Jeng...
Sudah pasti saya tidak mengambil tawaran tersebut. Ya saya tidak cukup tangguh untuk mengulangi hal itu kembali. Bukan impian saya jika hanya mengejar nominal rupiah namun batinnya tetap tidak bahagia. Saya ikhlaskan tawaran itu berlalu.
Ternyata benar rencana Tuhan sering tidak terduga. Berselang beberapa minggu saya diminta interview di sebuah perusahaan startup lokal Yogyakarta yang namanya sangat asing ditelinga saya bahkan mungkin belum banyak yang tahu. Saya diminta untuk interview bekerja sebagai Research and Development. Waduh dulu saya juga pernah bekerja di bagian ini namun juga kurang passion karena mengharuskan saya bekerja di laboratorium sepanjang hari. Interview dijadwalkan jam 10 dan bahkan jam 9 saya masih berleha-leha di rumah. Masih ragu antara mau saya ikuti prosesnya atau membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Karena impian saja sudah jelas bekerja di perusahaan kosmetika terkemuka yang saya idam-idamkan. Jadi mau saya tunggu sampai perusahaan itu menghubungi saya.
Akhirnya tanpa berharap apapun saya datangi juga interview di startup company. Saya hanya ingin melihat apa yang mereka tawarkan. Singkat cerita ternyata jobdesk perkerjaan yang ditawarkan jauh dari bayangan saya yakni membentuk sebuah tim yang membantu begian-bagian di tiap perusahaan khususnya RnD team untuk bekerja dengan ceria dan bahagia, menularkan energi positif, serta menerapkan sistem kaizen dalam bekerja. Sehingga ada perubahan yang baik setiap harinya. Cukup menarik. Walaupun bukan sesuai impian saya. Karena prioritas saya saat ini adalah kembali ke Yogyakarta. Sepertinya waktu yang tepat untuk meredam ego.
Rangkuman dari cerita ini adalah : Ternyata mengalahkan ego bukan sesuatu yang mudah tetapi belum berjodoh dengan hal yang diimpikan bukan berarti sesuatu yang buruk. Mengutip kalimat dari Falla Adinda :
"Yang terpenting bukanlah menggapai mimpi, tetapi berani memilih mana yang membuat bahagia. Karena sebagai manusia, terkadang kita susah membedakan, mana mimpi atau mana ambisi untuk memuaskan ego."
Harapan saya di tahun 2018 adalah saya bisa lebih pandai bersyukur menikmati segala proses yang sudah saya pilih dan saya jalani sampai saat ini.
Warm regards,
Fadhila, 25 tahun
*yang sedang meredam ego diri sendiri serta masih berusaha meraih impian-impiannya*
No comments:
Post a Comment