Friday 8 February 2013

Timika Punya Cerita




"Papua menyimpan banyak keindahan alam, budaya, serta adat-istiadat 
yang begitu menarik untuk ditelusuri, salah satunya Budaya Suku Kamoro"


Menjalani tiga tahun hidup di kota yang tersohor dengan hasil mineral tembaganya merupakan rangkaian perjalanan hidup yang berkesan. Tembagapura; salah satu kota kecil di Papua memiliki pemandangan alam yang sangat menakjubkan. Ketika saya melanjutkan Sekolah Menengah Atas, orangtua saya dipindah tugaskan dari Tembagapura ke Kuala Kencana. Kondisi ini tentu memudahkan akses menuju Timika yang merupakan ibukota Kabupaten Mimika. Kabupaten yang berslogan "Eme Neme Yauware" yang berarti bersatu, bersaudara kita membangun, memiliki 12 distrik atau kecamatan, diantaranya Mimika Barat, Mimika Barat Jauh, Mimika Barat Tengah, Mimika Timur (Mapurujaya), Mimika Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita. Kabupaten Mimika didiami oleh dua suku besar yaitu Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan Kamoro di wilayah pantai.
 
Suku Kamoro adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Mimika. Dari segi bahasa, mereka bersaudara dengan Suku Asmat yang sangat terkenal karena seni ukirnya. Suku Kamoro masih menjunjung tinggi adat serta kebudayaan mereka di era modern ini. Ada beberapa upacara adat yang sering dilakukan oleh Suku Kamoro diantaranya Upacara Karapao yaitu upacara yang digelar bagi anak laki-laki yang sudah dianggap beranjak dewasa, Upacara Penobatan Kepala Suku, serta Upacara Pembuatan Mbitoro yakni patung leluhur Suku Kamoro. Pagi itu akan digelar festival budaya dalam rangka peresmian pembangunan kantor Distrik Mapurujaya. Acara tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan pemerintah kabupaten. Kebetulan ibu saya berkesempatan menjadi panitia.


Para penari Suku Kamoro


Wanita Kamoro menari dengan semangat

Ibu saya (kiri) berfoto bersama seusai acara


Masyarakat beriringan mendatangi lokasi acara di halaman depan kantor Distrik Mapurujaya. Tampak dari kejauhan sang tetua adat dibopong di atas kayu dan diarak dengan sangat meriah. Dalam balutan pakaian adat rumbai-rumbai yang disebut tapena dan wajah yang telah dihias secara khas para penari baik pria maupun wanita melakukan atraksi dengan penuh semangat. Senyum hangat dan ketulusan terpancar dari wajah mereka. Penonton ikut bersorak-sorai memeriahkan rangkaian acara. Festival ini saya maknai sebagai perayaan yang mengajarkan untuk berbagi dan melebur bersama seluruh lapisan masyarakat. Sebuah budaya yang harus terus dilestarikan. Suku Kamoro menyadari benar mengenai hal ini, meskipun zaman sudah modern namun budaya leluhur tak boleh terlupakan. Acara telah usai. Kantor kecamatan yang baru diharapkan dapat memenuhi dan menjembatani keperluan kependudukan masyarakat setempat. Mereka pulang dengan senyum mengembang dan perasaan gembira. Papua memang begitu menakjubkan. 
Pace-Mace*, Eme Neme Yauware!
*Pace : sebutan untuk pria ; Mace : sebutan untuk wanita

Eme Neme Yauware!


No comments:

Post a Comment